Sunday, October 16, 2011

Belajar Bahasa Mulai sejak Lahir


Sejak kapan seorang anak dikatakan mulai belajar bahasa ? Siapa yang mengajarinya berbahasa ? Pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya sudah sejak lama menjadi obyek kajian dalam berbagai yang dimiliki oleh manusia seperti kemampuan mempelajari dan menguasai khasanah ilmu pengetahuan dan penguasaan bahasa lebih merupakan hasil dari proses akusisi yang dimungkinkan oleh adanya language innate capacity yang dimiliki oleh manusia.
Seorang anak manusia dapat mengakusisi dan menguasai system bahasa pertamanya (mother tongue) dengan sempurna dalam kurun waktu yang sangat singkat terlepas dari fakta mengenai betapa kompleks dan rumitnya sistem bahasa itu. Dengan kata lain, proses akusisi bahasa pertama oleh seorang anak secara umum pasa dasarnya sudah sempurna dan selesai pasa usia yang masih sangat dini. Sebahagian menyebutnya sudah selesai pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Dalam praktek penggunaan bahasa, terkadang kita tercengang dengan kemampuan seorang anak kecil memproduksi konstruksi tuturan yang tidak pernah diperkenalkan kepadanya. Dalam keadaan normal, seorang anak dapat memproduksi konstruksi bahasa yang tidak pernah ia dengar sebelumnya dari siapapun. Ia serta merta mampu menyusun kalimat yang sama sekali baru baginya dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Hal ini menegaskan adanya mekanisme tertentu yang berlaku pada sistem jaringan kognisi manusia yang memungkinkan manusia mengakusisi bahasa secara alami tanpa disadarinya.
Untuk menjelaskan mekanisme dan sistem kognisi ini, Noam Chomsky berargumantasi bahwa pada dasarnya manusia memiliki sistem kognisi yang diperlengkapi dengan sebuah instrument akusisi bahasa yang secara intrinsic menjadi ciri pembeda (distinctive characteristic) manusia dari makhluk-makhluk lain. Instrument ini sebut sebagai Language Acquisition Device (LAD). Menurut Chomsky, LAD yang merupakan built-in innate capacity inilah yang memungkinkan seorang anak dengan data linguistic yang sangat terbatas, dapat mengetahui dan menguasai sistem gramatika bahasanya dan oleh karenanya mampu memproduksi kalimat yang tak terhingga (infinite use of finite means).
LAD ini tidak pernah diketahui secara pasti mekanisme kerjanya, namun dapat dikenali melalui tiga persifatan utamanya yaitu: (1) Spesies-specific, i.e distinguishes man from other primates, (2) specific for language learning as opposed to acquisition of other forms of behavior or knowledge, and (3) prestructures the properties of grammar to a large extent (consequently, many structural properties of grammar are innate and need not be learned).


Friday, October 7, 2011

Kesepakatan dalam Bahasa

Sekali lagi, saling pengertian antara penutur dan mitra tuturnya dalam sebuah peristiwa tutur dimungkinkan terjadi karena adanya kesepakatan (konvensi) di antara mereka tentang bentuk dan makna bahasa yang mereka pergunakan. Konvensi ini melahirkan tacit undertanding dan tacit agrement antara sesama penutur bahasa. Kita dapat membayangkan dua orang dari komunitas  bahasa yang berbeda bertemu dan melakukan peistiwa tutur dengan menggunakan bahasanya masing-masing. Tentu saja tidak tercipta saling pengertian di antara keduanya karena tidak ada kesempatan mengenai bentuk dan makna bahasa yang mereka gunakan. Sepintas kedua orang tersebut saling berkomunikasi dan berinteraksi, namun pada hakikatnya mereka tidak sedang menggunakan bahasa karena pada saat itu apa yang mereka anggap sebagai bahasa dan digunakannya bertutur tidak lagi menjadi bahasa, karena tidak mampu menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai bahasa.
Komunikasi disebut berhasil bila pesan (umpamanya X) yang disampaikan oleh pengirim pesan (encoder) diterima oleh penerima pesan (decoder) dalam bentuk dan kualitas yang sama dengan yang dikirim (yaitu X, bukan Y, atau X=1, atau yang lainnnya ). Peristiwa tutur antara dua orang dari komunitas bahasa yang berbeda dan tidak saling mengerti satu sama lain. seperti dalam ilustrasi di atas menegaskan betapa sifat konvensional bahasa sangat penting dan ketiadaanya menimbulkan akibat yang fatal yaitu gagalnya komunikasi yang berarti tidak tersampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Seorang dokter dan asistennya yang sedang bertugas menggunakan operasi pembuluh darah jantung di kamar bedah sebuah rumah sakit selalu sangat cermat menyampaikan dan menerima pesan tentang urutan alat-alat yang dipergunakan dalam tugas tersebut. Antara keduanya  harus tercipta konvensi yang sangat kuat mengenai bentuk dan makna bahasa yang mereka gunakan. Itulah mengapa ketika sang dokter menyebut [gunting], misalnya, asistennya menyodorkan sesuatu yang persis seperti yang dimaksudkan oleh sang dokter yaitu "gunting". Dalam melaksanakan tugas serumit ini, tentu tidak diharapkan terjadi kasus dimana sang dokter meminta gunting dan sang asisten menyodorkan yang lain misalnya gergaji.
Sifat konvensional bahasa yang tergambar dari ilustrasi guru dan murid dan ilustrasi dokter dan asistennya selain ditentukan oleh faktor intralingual misalnya hubungan bentuk dan makna bahasa seperti yang sudah diuraikan, juga ditentukan oleh faktor-faktor extralingual seperti konteks peristiwa tutur. Termasuk dalam konteks peristiwa tutur ini antara lain: relasi interlocutor (siapa berbicara dengan siapa), konten pembicaraan, waktu, tempat, dan setting.  

Tuesday, October 4, 2011

Sifat Konvensional Bahasa


Selanjutnya, mengapa ketika seorang guru di ruang kelas Sekolah Dasar meminta salah seorang muridnya untuk mengambil penghapus papan tulis yang tertinggal di kantor kepala sekolah, seorang murid lalu pergi kmudian datang dan membawa penghapus papan tulis, bukan sesuatu yang lain, misalnya ember, atau kecoa. Hal itu dimungkinkan terjadi oleh fakta bahasa  bahwa antara sang guru maupun sang murid sama-sama merujuk kepada satu realitas yang sama dari konsep penghapus papan tulis. Ilustrasi ini menegaskan bahwa bahasa besifat konvensional, yaitu kesepakatan penuturnya.
Siafat konvensional bahasa inilah yang membuat bahasa menjadi bahasa dalam pengertian memungkinkan bahasa mampu menjalankan tugasnya sebagai alat komunikasi, interaksi dan transaksi antara penuturnya. Meskipun secara arbitrer penutur bahasa dapat menentukan unit linguistic yang ia inginkan untuk suatu konsep/ide tertentu namun penentuan “pasangan-bentuk-dan-makna” tersebut tidak akan menjadi permanen menjadi bagian dari khazanah kosa kata bahasa tersebut bila tidak tercipta kesepakatan segenap anggota komunitas bahasa tersebut. Dengan kembali mengambil contoh konsep “roti” dalam bahasa Indonesia yang sudah disebutkan terdahulu, kita dapat dengan aman menyimpulkan bahwa ia tidak akan menjadi “roti” kalau komunitas tutur bahasa Indonesia tidak bersepakat menyebutnya [roti].
Bila umpamanya ada diantara kita yang hadir ditempat ini tidak lagi sepakat menggunakan kata “roti” dan ingin menggantinya dengan kata lain kemudian ia membuat kata  baru, misalnya “linggis”, dan terus menerus menggunakan kata itu serta berhasil membuat mayoritas penutur bahasa Indonesia yang lain menggunakannya, maka dalam kurun waktu tertentu entah 10 tahun, entah 100 ke depan, apa yang hari ini kita sebut [roti] pasti akan menjadi [linggis]. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain yang dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa apapun. Sebuah kata tetap akan bertahan menjadi bahagian dari kosakata bahasa tertentu bila penutur bahasanya tidak lagi bersepakat menggunakan dan menggantikannnya dengan kata lain.
Sumber Arifin, M.B, Bahasa Anugerah yang Terlupakan. 2009

Sunday, October 2, 2011

Sifat Bahasa, Arbitrer

Setiap unit linguistik dalam satu bahasa tertentu bertugas merepresentasikan makna yang dipasangkan kepadanya oleh komunitas bahasa tersebut, makna mana dimengerti oleh segenap individu anggota komunitas bahasa itu. Fakta-fakta bahasa universal seperti inilah yang menjelaskan mengapa bahasa bersifat arbitrer. Sifat arbitrer (arbitrary)bahasa berlaku sebagai azas bagi pemberian makna (meaning) terhadap unit bahasa (linguistik unit). Azas tersebut menyatakan: tidak ada hubungan langsung antara unit linguistik dengan makna yang dipasangkan kepadanya; penentuan pasangan-bentuk-dan-makna dilakukan secara suka-suka dan semata-mata atas keinginan penutur bahasa itu. Tidak ada hubungan antara bentuk bahasa atau unit linguistik [roti] dengan konsep atau ide tentang sejenis senyawa fisika-kimia tertentu yang telah melalui proses pengolahan sedemikian rupa dan dapat dikonsumsi manusia untuk memperoleh energi yang diperlukan oleh tubuh dan seterusnya dan seterusnya. Ia (roti) bermakna demikian (atau lebih tepatnya berpasangan dengan makna demikian) semata-mata hanya karena penutur bahasa dalam hal ini bahasa Indonesia secara arbitrer membuatnya bermakna demikian. Komunitas lain, yang bahasanya bukan bahasa Indonesia, juga secara arbitrer dapat menentukan unit linguistik lain dan bukan [roti] sebagai lambang yang mewakili makna tersebut. 
Sumber Arifin, MB.2009. Bahasa, Anugerah Yang Terlupakan.

Pentingnya Bahasa dipelajari


Bahasa adalah built-in characteristic of human being, mengetahui bahasa berarti mengetahui sebagian dari makna menjadi manusia. Dari sudut pandang kefilsafatan, mengingat sebagian persoalan filsafati tentang eksistensi manusia lahir dari konsepsi dan pemahaman yang keliru mengenai struktur bahasa, maka memahami bahasa dapat membantu memahami sebagian dari makna eksistensi manusia. Masih dalam perspektif kefilsafatan, dipahami bahwa bahasa adalah refleksi kenyataan (language is a reflection of reality); dimana struktur bahasa adalah sama dengan realitas mengingat bahasa adalah ekspresi pikiran manusia. Oleh karenanya, seseorang yang mampu memahami struktur bahasa memiliki kemampuan untuk memahami struktur realitas.
Meskipun manusia sangat pandai dan terampil mengambil manfaat dari bahasa dan komunikasi dari sejak ribuan tahun silam, dalam banyak hal, kita baru memahami sebagian kecil dari hakikat yang kompleks dari realitas aspek kehidupan manusia yang satu ini. apa hakikat bahasa  ? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab secara langsung sehingga harus dilihat dari berbagai aspek yang menjadi atribut bahasa itu agar mendekatkan kita kepada jawaban yang paling mungkin diterima. Oleh karena itu, kita akan melihat aspek persifatan bahasa (language characteristics) yang dalam kajian bahasa sampai sejauh ini memiliki fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karakteristik tersebut dapat dilihat dalam beberapa definisi bahasa yang sudah dirumuskan oleh para peneliti antara lain dalam definisi yang disampaikan oleh Albert B Cook sebaagai berikut : “A language is a system of vocal symbols and grammatical signals by means of which the members of a speech community communicate, interact, and transmit their culture.”
Dari definisi tersebut diatas dan definisi lain yang ada, setidaknya diperoleh beberapa persifatan bahasa antara lain: (1) bahasa adalah system lambing vocal, (2) bahasa adalah rangkaian tanda gramatikal, (3) bahasa bersifat arbitrer (manasuka), (4) bahasa bersifat konvensional, (5) bahasa adalah atribut manusia (human species-specifics), (6) bahasa adalah alat komunikasi, (7) bahasa adalah alat interaksi, (8) bahasa adalah perilaku social, (9) bahasa adalah budaya.
Keseluruhan persifatan bahasa tesebut termanifestasi dalam tiga kesatuan wujud substantive bahasa yaitu kesatuan bentuk , kesatuan makna, dan kesatuan aturan. Bentuk (linguistik form) adalah satuan linguistik tertentu yang dapat berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana; makna (meaning) adalah konsep atau idea yang diasosiasikan dengan bentuk linguistik tertentu; sedang aturan (rules) adalah prinsip -prinsip gramatikal yang berlaku bagi bentuk-bentuk linguistik.

Monday, September 26, 2011

Bahasa, Anugerah Yang Terlupakan

  Bagi kebanyakan orang, tidak terkecuali yang terpelajar sekalipun, linguistik terkadang terdengar asing dan dianggap hanya sebuah istilah, atau bahkan tidak diketahui jenis makhluk apa dia. Ia bahasa manusia (human language) dan obyek formalnya meliputi keseluruhan hakikat dan wujud bahasa dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk budaya. Orang yang berkecimpung dalam kajian bahasa biasanya disebut linguis. Linguistics is the scientific study of human language and someone who engages in this study is called a linguist.
           Ketidaktahuan terhadap linguistik nampak misalnya dari kebiasaan sebagian orang yang menganggap bahwa linguis itu adalah orang yang menguasai banyak bahasa (polygot), sebahagian lagi mengatakan bahwa linguis adalah yang mengajarkan bahasa, atau mereka yang bekerja sebagai penerjemah dan interpreter di lembaga-lembaga internasional atau perusahaan-perusahaan asing dan lain-lain. Meskipun anggapan seperti itu ada benarnya , namun seseorang dapat menjadi linguis yang sangat professional dan handal dengan hanya menguasai satu bahasa saja yang biasa disebut bahasa pertama atau mother tongue dan tidak pernah mengajarkan bahasa di sekolah manapun serta tidak pernah menjadi penerjemah atau bekerja di perusahaan atau di lembaga internasional. Linguis melakukan kajian ilmiah terhadap data-data kebahasaan mengenai hakikat dan wujud bahasa dalam totalitas kehidupan manusia sesuai dengan disiplin dan metodologi kajian kebahasaan. Hasil kajian tersebut menjadi pemberian bahasa baik pada tataran ilmu murni (theoretic linguistics) maupun pada tataran ilmu terapan (applied linguistics).
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa bahasa dikaji ?


Sumber Arifin, M.B. 2009. Bahasa Anugerah Yang Terlupakan.borneo university press.